Sunset di pantai ini telah berlalu.
Pulang, ya itulah sesuatu yang sedari tadi kami tunggu. Dengan riang kami pun
kembali dengan rombongan yang segera bertolak ke SMP N 6 tercinta. SMP kita
bersama. SMP yang menyimpan sejuta cerita , tawa dan air mata.
Sesampainya di gerbang depan, bagas
langsung menghampiriku. Agak sedikit mengherankan memang. Tapi kucoba mengasai
diri setenang mungkin.
“shill, kamu pulang naik apa?” tanyanya
penuh perhatian.
“gak tau nih. Papa dari tak gak bales
sms aku” ucapku.
“bareng aku aja yuk” ajaknya.
Benar-benar membuatku terkejut. Sejak kapan bagas berubah menjadi semanis ini.
Sejak kapan ia peduli denganku. Apa sejak pernyataannya di pantai tadi? . orang
yang aneh, batinku.
“ehmm, tapi pulangnya entaran aja ya.
Nunggu teman yang lain dijemput dulu, kan kasihan” jawabku setengah menolak.
Aku masih berharap papa atau siapapun ada yang menjemputku. Jadi tak ada alasan
untukku pulang bersama bagas. Ya, aku berharap.
“iya dong, biasanya juga gitu kan”
ucapnya diikuti kekehan. Dengan senyum yang mengembang ia percepat langkah dan
kembali jauh dari tempatku berada. Syukurlah ...
Menit demi menit berlalu. Kini koridor
utama SMP 6 telah sepi penghuni. Hanya tinggal 7 orang yang tersisa, dengan 3
motor yang masih tenang terparkir. Hanya nia yang masih menunggu jemputan.
Sedangkan 5 yang lain sudah siap dengan motor yang siap membawa masing-msasing
mereeka pulang. Sedangkanku, masih bimbang. Jujur aku masih ingin dijemput
entah oleh siapa. tetapi kalau pun tidak, bagas telah siap dan berjanji mengantarku
pulang. Aku hanya menanti keajaiban.
Tak lama ada seorang pria seumuran kita
datang dengan motor matic putihnya. Awalnya aku mengira itu yang akan menjemput
nia tapi ternyata ...
Hp ku berdering, kuangkat panggilan masuk tersebut. Dari Dias rupanya.
“assalamu alaikum” sapaku.
“wa alaikum salam” sapa orang diseberang
telepon.
“Aku sudah diluar gerbang nih. Kamu udah
sampai di spesix kan?” katanya agak tergesa.
Spesix adalah sebutan gaul bagi SMP
Negeri 6 Semarang, yang sangat familier bagi kalangan siswa maupun khalayak
umum lainnya.
“beneran?” untuk memastikan, kupandang
kearah luar gerbang. Obrolanku ini ternyata menyedot perhatian teman yang lain.
Mereka dengan seksama memperhatikan setiap kata yang terlontar dari mulutku.
Namun, tidak untuk bagas. Ia tetap asyik dengan androidnya tanpa sedikit pun
mau menoleh ke arahku.
“iya, kamu di sebelah mana?” tanyanya
sedikit khawatir.
Aku ingin menangis terharu, ternyata ada
orang yang benar-benar tulus dan peduli denganku. Terbesit sedikit penyesalan
saat ku menatap kearah bagas. Ah lagi-lagi bagas kenapa dulu aku begitu
mengharapkannya. Padahal jelas tak ada sedikitpun hatinya untukku. Tapi ya
sudahlah, tanpa bagas mungkin saat ini aku belum mengenal cinta.
“oke, tunggu sebentar ya” kututup
telepon.
Seketika teman yang lain bersorak
menggoda. “cieeee” ucap mereka kompak.
“apaan sih?” ucapku malu-malu.
“cieee shilla udah punya pacar” goda
nia.
Aku semakin malu dibuatnya. Bagas?
Kurasa dia biasa saja. Syukurlah ...
Tiba-tiba bibir ini berucap, “daripada
nunggu orang yang gak merasa ditunggu” aku berkata tanpa sadar. bagas pun bagai
dibangunkan dari mimpinya langsung tersedak dan menoleh ke arahku “borosss”
lanjutku tanpa memperdulikan tatapan matanya. Kali ini dengan nada sedikit
menyindir.
Kata-kataku ini direspon dengan kekehan
sebagian teman. Sebagian lagi tampak lebih memperdulikan bagas yang kusindir
terang-terangan. Sedangkan bagas, masih tetap stay cool walaupun raut muka
gonduknya masih sangat terpampang nyata.
“teman-teman, aku duluan ya” ucapku
sangat bersemangat.
Kuraih tas dan aku segera berlalu. Baru
beberapa langkah menuju gerbang aku kembali. Nampaknya Ada sesuatu yang masih
mengganjal.
“kok balik lagi shill?” tanya rizky
keheranan.
“ummm, bagas maaf ya gak bisa pulang
bareng” ucapku sedikit kaku. Tak ada respon. Aku menyesal mengucap kata ini,
sungguh. Buang-buang waktu saja, batinku.
Aku segera menghampiri dias dan naik ke
atas motornya. Ada sebagian teman yang menyaksikan kami. Kubalas senyuman dari
jauh. Sedangkan dias yang mukanya tertutup slayer dan helm pun turut serta
mengangguk. Ternyata dias lebih punya etika daripada ... stop! Aku tak punya
hak membandingkan keduanya. Maksudku dias dan bagas.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar