Ini adalah kali ketiga kelas IX G
mengadakan reuni. Reuni akbar yang lazim dilaksanakan setiap tahun. Ini
merupakan tahun yang istimewa karena kami akan segera menamatkan SMA/SMK dan
siap melanjutkan ke jenjang selanjutnya. Peristiwa yang telah juga kami lalui
di kelas IX G kala itu.
24 Desember 2013,
Itulah tanggal dimana reuni ini
terlaksana. Entah kenapa, reuni kali ini terasa sangat berbeda. Ada rasa yang
aku sendiri pun tak mampu menjabarkannya. Aku merasa lain, aku terasa asing
berada di atmosfer kelas SMP ku terakhir ini. Sekali lagi, aku merasa beda.
Sangat.
Aku tak menahu darimana pikiran ini
muncul. Tapi seketika pikiran ini menjalar dan menjadikan hambar di setiap
keping latar. Dimana rasa yang dulu. Rasa yang membuat aku nyaman saat IX G
bersama-sama. Rasa yang membuatku ingin selalu tertawa riang. Rasa yang membuat
jantung ini berdebar saat IX G di dekat ...
Oh my god, aku mengingat satu hal. Aku
mengingat kita. Maksudku aku dan bagas. Dimana, dimana mulut ini yang mendadak
kaku saat bercerita tentangnya. Dimana, dimana mata ini yang selalu tersipu
malu saat menatapnya. Dimana? Dimana? Kurasa tak ku ketemukan lagi, ahh entahlah.
Reuni kali ini menghadirkan suasana
pantai yang tenang dan selalu riang. Tentu alasan utama darinya adalah supaya
masing-masing dari kami lebih tenang serta selalu riang dalam meghadapi Ujian
Nasional yang tinggal menghitung bulan. Tetapi riak gelombang pantai hanya
menambah panjang sebab gelisahku di reuni kali ini. Ini bahkan tidak terlihat
seperti reuni, melainkan uji nyali.
“shilla” panggil seseorang di seberang.
Tak terlihat jelas orang tersebut. Untuk memastikan, aku mendekat.
Aku terpaku. Diam mematung.
Orang itu ... arrrggghhh
“kenapa?” jawabku tetap mencoba sedingin
mungkin.
“ada sesuatu yang mau aku omongin”
ungkapnya hati-hati.
“yaudah, ngomong aja” aku masih saja
berlaga cuek.
Dia menarik tanganku dan membawa kami ke
suatu tempat. Aneh, sama sekali jantungku tak berontak.
Tanganku pun pasrah saja. Tubuh yang biasanya bergetar saat bersamanya pun kini nampaknya sudah bosan ...
Tanganku pun pasrah saja. Tubuh yang biasanya bergetar saat bersamanya pun kini nampaknya sudah bosan ...
Tempat ini jauh dari teman-teman IX G
yang lain. Lumayan terpencil dan ... , apa yang akan dilakukannya? ?? tidak,
tidak, tidak. Buanglah pransangka ini Tuhan ...
“maaf” ucap bagas, terdengar sekali
ucapan itu dari hatinya. Aku bisa merasakan itu.
“untuk?” kutatap matanya nanar. Aku
ingin sekali memeluknya, sebagai sahabat.
“intinya aku minta maaf” kali ini hampir
membuatku menitikkan air mata. Tetapi sanggup untukkku tahan karena aku sudah
bosan menangisi bagas untuk kesekian kalinya.
“hanya itu?”
Tak ada jawaban dari bagas.
“aku ke temen-temen dulu ya” lanjutku
ingin segera beranjak meninggalkannya.
“tunggu” cegahnya seraya menarik
tanganku.
Romantis. Ya, jika ini terjadi 3 tahun
silam. Sekarang? Terasa datar, hambar.
“apa lagi sih gas” kataku agak
kehilangan kesabaran.
“kamu marah?” pertanyaan bagas terdengar
sangat lemah.
“marah? Kenapa aku harus marah? Eh maaf,
aku kebelet pipis. Duluan ya” ucapku untuk segera mengakhiri obrolan tak
berujung ini.
Aku beranjak. tampak berpendar
penyesalan di sudut-sudut muka bagas. ada suatu beban yang belum mampu terucap
tadi. Entahlah, bagas tetaplah bagas. Bagas tetaplah menjadi orang yang selalu
membuatku kecewa. Bagas ... sudahlah.
Aku kembali ke teman-teman IX G yang
lain. Tak seberapa lama bags menyusul. Aku takut ia tahu kedokku untuk
menghindarinya tadi terbongkar. Tetapi untunglah bagas tak setega itu.
Setidaknya ia masih bersedia menjaga image ku dihadapan teman-teman.
“gas, katanya kamu mau ngomong sesuatu
di hadapan temen-temen, ayo buruaannn” kata nia, salah seorang teman yang
memang cukup dekat dengan bagas.
“a.. a..” kata bagas terbata-bata.
Seperti menyembunyikan sesuatu.
“Udah ngomong ajaa” desak Rizky, orang
paling bijak di kelas ini.
Bagas menghela nafas panjang, ia segera
mulai kata-katanya “ini untuk seseorang yang hadir disini” ucapannya membuat hampir seluruh
penghuni kelas menjadi kepo.
“dia adalah orang paling tulus yang
pernah hadir di hidup aku” lanjutnya “ aku tau dia menyimpan perasaan padaku
sejak 3 tahun yang lalu”
Deg, jantungku bagai dihantam batu
tajam. Bagai dikomando pun teman-teman yang lain serempak menghadap ke arah ku.
Oke, memang kuakui yang dikatakan bagas benar adanya. Tapi bagaimana dia tahu
perasaanku. Aku tak sehebat itu bisa mengatakan perasaanku kepada sembarang
orang. Terutama bagi orang itu sendiri. Itu sama sekali bukan tipeku. Aku
sangat pandai menyimpan perasaan, dan tentu hal itu masih berlaku hingga
sekarang.
“memang dia tidak pernah mengatakannya,
tak ada yang memberitahuku pula tentang hal ini” bagas menghela nafas, aku
semakin merasa dipojokkan “tapi aku tahu, aku sangat tahu itu. Kami sangat
dekat dan tidak sulit membaca setiap gerak-geriknya”
Astaga, rencana bagas macam apa ini.
Bantu aku keluar dari zona memalukan ini Tuhan ...
“aku sadar aku sering menyakitinya,
membuatnya kecewa ...” bagas tersenyum kecil, kali ini dia memandangku sejenak
lalu kembali berpaling “mungkin rasa cemburunya saat melihatku bersama cewek
lain mampu ia tutupi. Tapi ... tapi tidak dengan matanya. Cintanya yang tulus
membuatnya tak mampu menghindar. Ia tak mampu menyembunyikan rasa kecewanya
itu”
Aku semakin tertarik mendengar opini
tentangku darinya. Aku ingin tahu perasaannya yang sesungguhnya sekarang.
“tapi, waktu 3 tahun ini membuat ku
belajar. Waktu yang membatku sadar akan sesuatu yang dulu tak pernah ku
sangka-sangka. Waktu yang ... menuntunku ke hati yang benar”
Hati? Apa maksudnya ...
“6 bulan sudah aku menjomblo, tentu
bukan karena aku tak laku. Tapi aku sedang menunggu, menunggu orang yang
benar-benar tulus mencintaiku. Dan kini aku sudah tahu, terimakasih kalian
membuat kami bisa bertemu” bagas tersenyum semanis-manisnya. Senyum itu yang
membuatku terpesona hingga sekarang. Akhirnya aku masih bisa melihat senyum
termanis itu Tuhan. Terimakasih :)
Kata-kata terakhir bagas disambut tepuk
tangan haru teman yang lain. Mereka tentu menerka-nerka apa yang akan bagas
lakukan setelah ini. Mereka pasti yakin orang yang dimaksudnya adalah aku. Aku
pun demikian. Semoga kali ini ia tak membuatku kecewa. Pantai ini saksinya.
Saksi atas segala peristiwa yang terjdi baru saja.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar