Rabu, 23 April 2014

PK - ABK




KOKO, GIFTED UNLIMITED

 

Cerita ini datang dari seorang sahabat. Sebut saja namanya Koko. Pemuda berusia 17 tahun ini nampak seperti pemuda pada umumnya. Terlihat tidak ada yang perlu dikhwatirkan. Anggota tubuhnya lengkap dan ia pun menjalani rutinitas sebagaimana mestinya. Ia bersekolah di SMA ternama di kota yang cukup ternama pula. Ayahnya seorang pengacara dan ibunya bekerja sebagai dosen di sebuah universitas negeri di kotanya. Hidupnya serba cukup, berlibur di luar negeri bagi keluarganya hanya dianggap sebagai plesiran biasa. Sungguh beruntung hidupnya. Jika disuruh menggantikannya, sebagian besar diantara kalian pasti mengiyakan. Benarkah?

Koko, iya Koko. Ia tak seberuntung dari yang kita bayangkan. Ia mempunyai satu sisi yang membuat kita berpikir dua bahkan sepuluh kali saat kita ditunjuk menggantikan posisinya. Sungguh ironis, pemuda yang mapan sejak dalam kandungan ini memiliki sesuatu yang tidak biasa. IQ nya 145, setara dengan ilmuwan-ilmuwan ternama. Secara teoritis, ia mutlak memiliki kecerdasan yang luar biasa. Namun, teori tersebut terbantahkan lantaran ia tak mendapat tempat yang seharusnya. Di negeri ini tak ada satupun sekolah yang memfasilitasi kebutuhan anak-anak cerdas luar biasa. Tak bisa disalahkan memang, karena kejadian ini sangat langka. Sekarang coba hitung berapa anak indonesia yang bernasib sama seperti koko? Bahkan di negeri sebesar ini belum ada penelitian khusus yang menyebutkan berapa jumlah anak indonesia yang cerdas luar biasa. Alhasil, Koko dianggap sebagai anak yang tidak biasa. Tidak lumrah. Berbeda. Dan yang paling menyakitkan, ia tersisih dalam dunianya.  Terabaikan dalam pertemanan.

Hari-hari yang dilaluinya saat ini, khususnya di sekolah, tak lebih indah saat ia beserta keluarga berlibur di Singapura, Amerika atau bahkan Korea. Harinya penuh dengan air mata. Sayang, air mata itu tidak kunjung turun menyusur pipi. Tetapi tertahan dan mengendap di ulu hati. Kalbunya kini tertutup penuh kebencian. Harinya di sekolah sangat kelam. Sekelam cacian teman-teman terhadapnya. Anggapan remeh guru-guru dan segala yang membuat sakit hatinya. Sejatinya ia ingin melawan, hatinya acap kali mengisyaratkannya untuk memberotak tetapi fisik dan jiwanya tidak cukup terlatih berlaku demikian.

Satu, dua, tiga, berkali-kali ia mencoba mementahkan cacian terhadapnya. Bukan berhenti, temannya malah semakin menjadi-jadi. Ia ditertawakan. Mencoba lagi. Ditertawakan lagi. Begitulah kira-kira alur kehidupannya di sekolah. Miris memang.

Jika ditengok kebelakang koko sebenarnya terlahir lengkap seperti anak pada umumnya. Tidak nampak tanda-tanda aneh daripadanya. Saat usianya belum genap 1 tahun, gerakannya, tingkahnya sangat menggemaskan. Satu dua kata dengan terbata berhasil diucapnya. Namun, kesibukkan kedua orang tua memaksanya untuk mengenyam pendidikan usia dini seadanya. Tidak ada yang mengajaknya berbicara, kecuali pembantu di rumahnya. Tidak ada yang menopangnya untuk berlatih melangkahkan kaki. Tidak ada nyanyian nyanyian kasih sayang untuknya sebelum tidur. Semua tidak pernah didapatkannya sewaktu kecil. Dan kini ia haus akan itu.

Perlakuan ala kadarnya dari orang tua ternyata berdampak sangat dahsyat bagi perkembangan mentalnya sekarang. Ia tak hanya kesulitan dalam bergaul, tetapi pola pikirnya dianggap ‘berbeda’ yang cenderung aneh dibanding sebayanya. Potensi yang dibawanya dari lahir tak ada artinya hanya karena kegagalan pendidikan di masa kecil yang sangat krusial. Ia tak medapat perlakuan yang seharusnya. Potensinya tak terbungkus secara sempurna. Alhasil, potensinya menguap dan hanya menghambur antah berantah.

Jika dilihat sekilas, koko tak seperti anak dengan kemampuan di atas rata-rata. Namun seperti anak dengan dengan mental yang agak terbelakang. Fokusnya tak dapat terpusat. Pandangan matanya kosong tetapi sebenarnya hidup. Pikiranya lamban dan sempit tetapi sebenarnya ia berfikir detail, bahkan lebih dari yang lain. Gerakannya tak terkendali awut-awutan, benar saja. Kemampuan verbal nya dibawah rata-rata, sekali lagi ini merupakan imbas dari pendidikan masa kecilnya serta tempat yang tak seharusnya di masa kini. Lalu apa yang salah darinya?

Tidak, dalam hal ini koko hanya pemeran. Ia merupakan visualisasi akibat yang sejatinya tak dikehendaki oleh siapapun. Maka, menerima dan menghargainya sesuai porsi adalah hal yang sangat dibutuhkannya. Koko adalah manusia biasa. Ia butuh pengakuan, ia butuh diakui bahwa ia ada dan sejajar dengan yang lain. Ia tak butuh dipuji, tetapi ia sarat apresiasi. Apresiasi sedikit saja bisa menjadikanya terpacu luar biasa untuk mendapat hasil yang lebih istimewa. Tak percaya? Buktikan saja.

Cara berpikir koko berbeda dengan yang lain. Maka guru dan fasilitas yang tepat yang dibutuhkan untuk menunjang potensinya yang sebenarnya sangat mudah diasah. Koko tak pandai berbicara, berikan saja soal eksak dan biarkan ia bermain dengan nalarnya. Koko tak suka keramaian, jangan kurung dia, berikan kebebasan untuk menentukan pergaulannya sendiri. Gerakannya mengganggu penglihatan, jangan dilihat. Mudah kan? koko memang anak gifted unlimited, menerima dan menganggapnya bukan masalah adalah tindakan bijak. Jika kita bisa melakukannya, tak berlebihan jika kita disebut sebagai GREAT MAN UNLIMITED. Wouldn’t you?
 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar