Rabu, 23 April 2014

JIKA AKU BOLEH MEMILIH...



Memiliki kekurangan bukan sesuatu yang aku idamkan. Memiliki keterbatasan sejatinya bukanlah yang aku inginkan. Namun, aku masih sedikit berbangga. Aku masih bisa berkarya dengan apa yang aku miliki, dengan keterbatasan ini, dengan kekurangan ini. Tentu saja.

Jika aku boleh memilih, aku tak ingin dilahirkan dengan keadaan seperti ini. Dengan IQ diatas rata-rata yang selama hidup hanya menjadi bumerang bagi diriku sendiri. Aku tak cukup terbantu dengan IQ ini. matematika yang secara teori seharusnya menjadi master ku malah menjelma menjadi monster yang amat menakutkan. Aku takut, aku takut dengan IQ yang kau titipkan ini Tuhan. Aku khawatir tak mampu menjaganya. Tuhan, bantu aku, bantu aku berprestasi dengan IQ ini. itulah doa ibuku tiap malam, dan aku, aku hanya menjadi makmum dengan cukup mengamininya.

Sekolah? Aku bersekolah di sekolah formal. Bahkan sekolah ku ini terdaftar sebagai salah satu sekolah terfavorit di kota ku. Membanggakan memang, tapi itu bukanlah sebuah keinginan. Jika aku boleh memilih, sekali jika aku diperbolehkan untuk memilih. Aku akan memilih sekolah lain, tentu bukan sekolah formal apalagi sekolah favorit yang akan menjadi pilihanku. Karena aku tahu itu tak pantas bagiku. Aku lebih baik bersekolah di sekolah luar biasa, yang mana disana lebih memahami keadaanku. 
Kebutuhan khusus ku.

Menjadi korban bullying di sekolah tak dapat dihindarkan. Selalu saja aku menjadi bulan-bulanan. Tak hanya dikelas, bahkan keadaanku yang seperti ini sudah menjadi rahasia umum warga sekolah. Semua orang tahu, KOKO. Koko Andrean Wiratama dari kelas XI IA 10. Koko yang ... begitulah.

“ko, pindah kelas sana!” kata teman-teman kelasku diikuti kekehan. Tak semua memang,  tapi saking banyaknya aku jadi tak tahu mana yang membully, mana yang ikut tertawa dan mana yang hanya tersenyum sambil menyembunyikan iba. Terserahlah, jika aku boleh memilih, tentu aku tak ingin berada di posisi ini. aku ingin semuanya menjadi teman. Teman baik, tentu.

“Koko pindah kelas! Koko pindah kelas! Hahahaha” begitu salah satu ejekannya.
Aku, aku hanyalah Koko yang menyadari keadaannya. Koko yang hanya bisa diam walau dikatakan apa saja. Dan sekali lagi, apapun ejekannya, Koko diam. Apapun itu.
Jika Koko boleh memilih...

Secara akademis, aku memang kalah dengan teman-teman sebayaku. Apalagi teman-teman kelasku. Mereka orang-orang terpilih. Masuk ke sekolah ini tidak mudah, melalui beberapa tahap dan menyisihkan ribuan pendaftar. Aku sempat berfikir, kenapa bisa aku masuk ke sekolah ini? apa karena ayahku seorang komite sekolah ini? you know, itu bukan alasan membanggakan.

Satu lagi faktor yang selama ini menakutkan bagiku. Kemampuan verbal ku dibawah rata-rata. Kemampuan yang sangat krusial ini tidak dimiliki secara cukup olehku. Oleh ku yang katanya mempunyai IQ tinggi ini. IQ 143 yang mungkin jarang dimiliki orang timur, khususnya Indonesia. Aku malu dengan diriku sendiri. Aku merasa hina. 
Orang-orang yang memiliki IQ tak sebanyak aku saja bisa, kenapa aku tidak? Jika aku boleh memilih, aku ingin IQ ku seperti orang kebanyakan. Aku tak ingin berbeda. Koko tak ingin dibedakan.

“kamu ngomong apa sih ko? Yang jelas gitu loohhh” kata mereka, aku lupa.
Salah satu teman menimpali, “udah udah ko, sms aja. Kamu ngomong ntar jakarta banjir lagi hahaha”

Ada juga yang menirukan dengan gaya mereka yang melebih-lebihkan. Dengan gaya yang menurut mereka lucu dan mampu membuat mereka tertawa. Mereka tak menganggapku sebagai teman. Jangankan teman, menganggap aku sebagai orang saja terpaksa. Harapanku hanya satu, semoga suatu saat nanti aku bisa ‘lebih’ dari mereka. Lebih segalanya. Aku berharap demikian, kali ini ibu ku yang menjadi makmum dan hanya mengamininya.

Dibalik kelebihan pasti ada kekurangan begitupun sebaliknya. Aku percaya itu dan aku percaya setiap orang mendapat porsi yang sama. Aku memiliki kekurangan, ya semua orang tahu itu. Ya kelebihan IQ ini sejatinya adalah kekuranganku. Kelebihan? Mungkin sebagian orang tak percaya aku memilikinya. Tapi sebagai manusia, aku ditakdirkan untuk memilikinya. Aku punya, ya aku punya itu.

Aku memang tidak memiliki kelebihan dan kecakapan berbicara lisan. Tetapi dalam merangkai kata aku cukup handal. Walaupun kata-kataku ini mungkin hanya terpaut dalam pena dan hanya aku yang sudi membacanya. Tulisanku terlampau jelek untuk ‘go orang lain’. Bahkan ibuku, tak percaya aku mampu melakukannya. Setiap beliau kusodori kertas yang berisi kata-kata rangkaianku. Ibu hanya mengangguk. Aku tahu, aku tahu ibu tak benar-benar membacanya. Ibu melakukan ini hanya untuk membuatku lega. Terima kasih ibu, telah membuatku lega. Setidaknya aku sedikit tidak kecewa :)
Aku putus asa, tulisanku kurasa tak ada harganya. Aku mulai mencari kesibukkan lain. Aku ingin memberikan sesuatu yang bisa membuatku sejajar dengan yang lain. Aku mulai mempelajari berbagai macam keahlian. Karena aku butuh seperti yang lain. Aku butuh pengakuan. Pengakuan untuk mengakui dan diakui.
....
Lanjutan >>>

Tidak ada komentar:

Posting Komentar