Memiliki kekurangan bukan sesuatu yang aku idamkan.
Memiliki keterbatasan sejatinya bukanlah yang aku inginkan. Namun, aku masih sedikit
berbangga. Aku masih bisa berkarya dengan apa yang aku miliki, dengan
keterbatasan ini, dengan kekurangan ini. Tentu saja.
Jika aku boleh memilih, aku tak ingin dilahirkan
dengan keadaan seperti ini. Dengan IQ diatas rata-rata yang selama hidup hanya
menjadi bumerang bagi diriku sendiri. Aku tak cukup terbantu dengan IQ ini.
matematika yang secara teori seharusnya menjadi master ku malah menjelma menjadi
monster yang amat menakutkan. Aku takut, aku takut dengan IQ yang kau titipkan
ini Tuhan. Aku khawatir tak mampu menjaganya. Tuhan, bantu aku, bantu aku
berprestasi dengan IQ ini. itulah doa ibuku tiap malam, dan aku, aku hanya
menjadi makmum dengan cukup mengamininya.
Sekolah? Aku bersekolah di sekolah formal. Bahkan
sekolah ku ini terdaftar sebagai salah satu sekolah terfavorit di kota ku.
Membanggakan memang, tapi itu bukanlah sebuah keinginan. Jika aku boleh
memilih, sekali jika aku diperbolehkan untuk memilih. Aku akan memilih sekolah
lain, tentu bukan sekolah formal apalagi sekolah favorit yang akan menjadi
pilihanku. Karena aku tahu itu tak pantas bagiku. Aku lebih baik bersekolah di
sekolah luar biasa, yang mana disana lebih memahami keadaanku.
Kebutuhan khusus
ku.
Menjadi korban bullying di sekolah tak dapat
dihindarkan. Selalu saja aku menjadi bulan-bulanan. Tak hanya dikelas, bahkan
keadaanku yang seperti ini sudah menjadi rahasia umum warga sekolah. Semua
orang tahu, KOKO. Koko Andrean Wiratama dari kelas XI IA 10. Koko yang ... begitulah.
“ko, pindah kelas sana!” kata teman-teman kelasku
diikuti kekehan. Tak semua memang, tapi
saking banyaknya aku jadi tak tahu mana yang membully, mana yang ikut tertawa
dan mana yang hanya tersenyum sambil menyembunyikan iba. Terserahlah, jika aku
boleh memilih, tentu aku tak ingin berada di posisi ini. aku ingin semuanya
menjadi teman. Teman baik, tentu.
“Koko pindah kelas! Koko pindah kelas! Hahahaha” begitu
salah satu ejekannya.
Aku, aku hanyalah Koko yang
menyadari keadaannya. Koko yang hanya bisa diam walau dikatakan apa saja. Dan
sekali lagi, apapun ejekannya, Koko diam. Apapun itu.
Jika Koko boleh memilih...
Jika Koko boleh memilih...
Secara akademis, aku memang kalah dengan teman-teman
sebayaku. Apalagi teman-teman kelasku. Mereka orang-orang terpilih. Masuk ke
sekolah ini tidak mudah, melalui beberapa tahap dan menyisihkan ribuan
pendaftar. Aku sempat berfikir, kenapa bisa aku masuk ke sekolah ini? apa
karena ayahku seorang komite sekolah ini? you know, itu bukan alasan
membanggakan.
Satu lagi faktor yang selama ini
menakutkan bagiku. Kemampuan verbal ku dibawah rata-rata. Kemampuan yang sangat
krusial ini tidak dimiliki secara cukup olehku. Oleh ku yang katanya mempunyai
IQ tinggi ini. IQ 143 yang mungkin jarang dimiliki orang timur, khususnya
Indonesia. Aku malu dengan diriku sendiri. Aku merasa hina.
Orang-orang yang
memiliki IQ tak sebanyak aku saja bisa, kenapa aku tidak? Jika aku boleh
memilih, aku ingin IQ ku seperti orang kebanyakan. Aku tak ingin berbeda. Koko
tak ingin dibedakan.
“kamu ngomong apa sih ko? Yang
jelas gitu loohhh” kata mereka, aku lupa.
Salah satu teman menimpali, “udah
udah ko, sms aja. Kamu ngomong ntar jakarta banjir lagi hahaha”
Ada juga yang menirukan dengan
gaya mereka yang melebih-lebihkan. Dengan gaya yang menurut mereka lucu dan
mampu membuat mereka tertawa. Mereka tak menganggapku sebagai teman. Jangankan
teman, menganggap aku sebagai orang saja terpaksa. Harapanku hanya satu, semoga
suatu saat nanti aku bisa ‘lebih’ dari mereka. Lebih segalanya. Aku berharap
demikian, kali ini ibu ku yang menjadi makmum dan hanya mengamininya.
Dibalik kelebihan pasti ada
kekurangan begitupun sebaliknya. Aku percaya itu dan aku percaya setiap orang
mendapat porsi yang sama. Aku memiliki kekurangan, ya semua orang tahu itu. Ya
kelebihan IQ ini sejatinya adalah kekuranganku. Kelebihan? Mungkin sebagian
orang tak percaya aku memilikinya. Tapi sebagai manusia, aku ditakdirkan untuk
memilikinya. Aku punya, ya aku punya itu.
Aku memang tidak memiliki
kelebihan dan kecakapan berbicara lisan. Tetapi dalam merangkai kata aku cukup
handal. Walaupun kata-kataku ini mungkin hanya terpaut dalam pena dan hanya aku
yang sudi membacanya. Tulisanku terlampau jelek untuk ‘go orang lain’. Bahkan
ibuku, tak percaya aku mampu melakukannya. Setiap beliau kusodori kertas yang
berisi kata-kata rangkaianku. Ibu hanya mengangguk. Aku tahu, aku tahu ibu tak
benar-benar membacanya. Ibu melakukan ini hanya untuk membuatku lega. Terima
kasih ibu, telah membuatku lega. Setidaknya aku sedikit tidak kecewa :)
Aku putus asa, tulisanku kurasa
tak ada harganya. Aku mulai mencari kesibukkan lain. Aku ingin memberikan
sesuatu yang bisa membuatku sejajar dengan yang lain. Aku mulai mempelajari
berbagai macam keahlian. Karena aku butuh seperti yang lain. Aku butuh
pengakuan. Pengakuan untuk mengakui dan diakui.
....
Lanjutan >>>
Tidak ada komentar:
Posting Komentar