Sabtu, 01 Maret 2014

LOMBA PALING OPTIMIS dan PALING GAGAL. #akurapopo

event #streetbible yang diselenggarakan oleh @FisipersUI

Jalanan tetap jalanan


Jalanan. Mungkin sebagian orang beranggapan bahwa jalanan adalah sebuah tempat yang keras dan mengerikan. Ada pula yang menganggap jalanan hanya sebuah tempat yang disediakan bagi mobil dan kendaraan lain untuk berlalu lalang, tanpa kesan. Lain lagi yang menjadikan jalanan sebagai ladang rejeki, zona bekerja keras. Ia pasti tak akan rela melewatkan setiap sudut jalanan tanpa kesempatan. Tak akan rela. Namun, ini bukanlah teori paten. Hanya pendapat sebagian orang. Hanya opini. Setiap orang berhak mendefinisikannya masing-masing. Ya apapun itu.
Menyusuri jalan di kota besar seperti di Kota Semarang, bagaikan menyusun mozaik kehidupan yang telah menjadi serpihan dan berpencar antah berantah. Berjauhan tetapi tetap berkesinambungan. Segala macam studi kehidupan dapat kita temukan. Hanya perlu sedikit membuka rasa empati, kita akan menemukan kedamaian tak terbayar disana. Karena percayalah, jalanan merupakan cermin kejujuran. Walaupun kini sudah ternoda oleh orang-orang yang berbangga telah mampu berdusta baginya.
            Hiruk pikuk dan sesak jalanan mengisyaratkan bahwa kita tidak sendiri. Tuhan tak hanya menciptakan seorang makhluk di dunia ini, tetapi berjuta hingga bermilyaran. Jika kita merasa kesepian, Sesungguhnya kita telah mengingkari nikmat yang telah Tuhan berikan. Sehingga kita harus bersyukur dengan adanya jalan. Jalan merupakan salah satu media kita untuk berjumpa. Untuk saling bertegur sapa. Terkadang jalanan dipenuhi oleh orang-orang yang saling bertukar senyum nan menyejukkan, tetapi tak jarang juga berhiaskan pandangan manusia yang saling mengacuhkan.
            Hidup di jalanan berarti menyerahkan diri pada kekerasan. Kekerasan preman, salah satunya. Karena kembali lagi pada hakikatnya, jalan merupakan tempat yang keras dan hanya diperuntukkan bagi orang-orang yang tangkas. Jika tak cepat bertindak, niscaya kau akan mati kelaparan atau bahkan mati tertimpa kerasnya jalan itu sendiri.
            Awalnya aku menelan arti keras secara mentah. Pusat dari kejahatan dan kerusakan di muka dunia. Perampokan, penjambretan, pemerkosaan adalah beberapa dari sekian juta kejahatan yang nyata. Kecelakaan ringan hingga mengerikan, dari yang berstatus tanpa korban hingga beribu jiwa melayang dapat kita temui disini. Tak heran jalan kerap dicap sebagai tempat yang penuh misteri. Magis, tetapi sering juga  tak logis.
            Dari uraian paragraf diatas, mungkin kita akan takut dan enggan untuk mengenal jalanan lebih detail lagi. Namun, kita akan mengupas jalanan dari sisi yang lain. Sudut pandang dan juga penafsiran yang berbeda. Kita akan merenung dan berucap syukur. Semoga kita termasuk orang-orang yang terpilih.
Banyak profesi yang menggantungkan hidup di jalanan. Supir angkot, tukang sapu jalan, tukang becak, loper koran, pedagang asongan, pengamen adalah beberapa diantaranya. Mereka tak meminta dikasihani. Mereka hanya membutuhkan sedikit penghargaan. Penghargaan sebagai sesama manusia. Sekarang tinggal bagaimana kita bersikap. Sikap kita terhadap orang-orang yang mungkin jauh tak seberuntung kita. Masihkah kita peduli. Masihkah tersisa sedikit kemanusiaan di sanubari ini. Masihkah kita menganggap mereka ada. Tanyakan kepada hati kita masing-masing. Rasakan setiap bisikan. Diam, dan kalian akan menemukan jawaban.
Begitulah sedikit potret jalanan di Kota Semarang. Ya seluruh pemaparan diatas, tanpa satupun pengecualian. Mungkin kota lain juga merasakan hal serupa. Itu merupakan hal lumrah. Semua kota ataupun desa berhak memiliki deskripsi jalanan seperti ini. Karena jalanan bersifat universal. Dari, oleh dan untuk siapa saja.
Jalanan tetaplah jalanan. dicap sebagai apapun, jalanan tetaplah sebuah jalan. Jalan yang seyogyanya diinjak dan terus saja menjadi alas bagi seluruh umat manusia. Kita tidak berhak mengagungkan apalagi merendahkannya. Biarkan, biarkan jalan tetap pada fungsi yang sebenarnya. Karena bagaimana pun jalan bukanlah sebuah gambar yang bisa sekenanya disalin disembarang kertas. Jalan tetaplah jalan.
Coba kita melihat jalanan dari atas, dari jendela helikopter yang terbang pada ketinggian 5000 meter misalnya. Bisakah kita melihat kemacetan jalanan yang seringkali menyesakkan dada? Apakah kita menangkap suatu praktek kejahatan di jalanan itu? Tidak, tak akan pernah. Jalanan hanya terlihat seperti garis gradien yang membentang tiada ujung. Diapit oleh gedung-gedung pencakar langit yang kian menambah sesak potret jalanan dari ketinggian. Mobil-mobil berbagai merk pun hanya memancarkan cahaya yang tak lebih sangar dari cahaya senter. Berjubel, mungkin tampak. Tetapi tak ada yang perlu dikhawatirkan dari sesuatu yang kita sebut sebagai “jalanan”. Kita hanya perlu meyakini bahwa jalanan itu ada dan diciptakan bagi siapa saja. Hanya boleh ada kedamaian dan keselarasan. Tak boleh ada permusuhan apalagi kekerasan. Kita yakin bahwa jalanan adalah ladang pangan bukan pertumpahan darah. Dan ...

“ Hargai jalanmu, hargai setiap makhluk yang terlibat didalamnya . karena sesungguhnya, mereka berhak “

(by : Khurnia tri utami)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar