Senin, 20 Juli 2015

By Tugu Muda I Sat Down and Wept

Aku duduk dan menangis di tempat ini. Di tempat terakhir aku menatap kedua mata indahnya. Menyentuh hangat tangannya sebagai ucapan selamat tinggal. Memeluknya sebagai salam perpisahan. Kemudian ia berlalu, menjauh. Aku sendiri. Kesepian menyelinap merasuki jiwaku yang hampa. Rasa sayang kini berubah menjadi benci yang semakin lama semakin menajam. Aku benci segalanya tentang dia, semuanya. Kecuali satu,Tuga Muda, saksi segala kisahku dengannya. Tak ada alasan untukku membeci tempat itu. Walaupun aku tahu terlalu banyak kebencian tercipta disana.

Setahun kepergiannya. Aku kembali ke tempat ini. Sendirian. Tempat ini masih sama seperti yang dulu. Masih sama seperti saat awal kita bertemu. Masih sama seperti saat kau putuskan untuk pergi meninggalkan kota ini dan aku. Lagi-lagi aku tak menemukan alasan untuk membenci tempat ini.
Aku berjalan mengelilingi setiap sudut taman kota yang anggun ini. Sesekali gagahnya lawang sewu tertunduk iri seakan meminta pula untuk disinggahi. Aku tersenyum. Ku ambil kamera untuk mengabadikan bangunan tua dengan arsitektur khas negeri kicir angin tersebut. Cantik, secantik aku yang sedang bahagia malam itu.

Semenjak itu, aku tak pernah lagi mengunjungi Tugu Muda. Memikirkan saja tidak pernah. Benarkah kini aku membencinya? Tak akan. Kenangan yang membuatku seperti ini. Tugu Muda tak bersalah dan tak akan pernah salah. Aku yang membuat semuanya kian bermasalah.
.
.
.
.
-------To be continue-------

Tidak ada komentar:

Posting Komentar