KOKO, GIFTED UNLIMITED
Cerita ini datang dari
seorang sahabat. Sebut saja namanya Koko. Pemuda berusia 17 tahun ini nampak
seperti pemuda pada umumnya. Terlihat tidak ada yang perlu dikhwatirkan.
Anggota tubuhnya lengkap dan ia pun menjalani rutinitas sebagaimana mestinya.
Ia bersekolah di SMA ternama di kota yang cukup ternama pula. Ayahnya seorang
pengacara dan ibunya bekerja sebagai dosen di sebuah universitas negeri di
kotanya. Hidupnya serba cukup, berlibur di luar negeri bagi keluarganya hanya
dianggap sebagai plesiran biasa. Sungguh beruntung hidupnya. Jika disuruh
menggantikannya, sebagian besar diantara kalian pasti mengiyakan. Benarkah?
Koko, iya Koko. Ia tak
seberuntung dari yang kita bayangkan. Ia mempunyai satu sisi yang membuat kita
berpikir dua bahkan sepuluh kali saat kita ditunjuk menggantikan posisinya.
Sungguh ironis, pemuda yang mapan sejak dalam kandungan ini memiliki sesuatu
yang tidak biasa. IQ nya 145, setara dengan ilmuwan-ilmuwan ternama. Secara
teoritis, ia mutlak memiliki kecerdasan yang luar biasa. Namun, teori tersebut
terbantahkan lantaran ia tak mendapat tempat yang seharusnya. Di negeri ini tak
ada satupun sekolah yang memfasilitasi kebutuhan anak-anak cerdas luar biasa.
Tak bisa disalahkan memang, karena kejadian ini sangat langka. Sekarang coba
hitung berapa anak indonesia yang bernasib sama seperti koko? Bahkan di negeri
sebesar ini belum ada penelitian khusus yang menyebutkan berapa jumlah anak
indonesia yang cerdas luar biasa. Alhasil, Koko dianggap sebagai anak yang tidak
biasa. Tidak lumrah. Berbeda. Dan yang paling menyakitkan, ia tersisih dalam
dunianya. Terabaikan dalam pertemanan.
Hari-hari yang
dilaluinya saat ini, khususnya di sekolah, tak lebih indah saat ia beserta
keluarga berlibur di Singapura, Amerika atau bahkan Korea. Harinya penuh dengan
air mata. Sayang, air mata itu tidak kunjung turun menyusur pipi. Tetapi
tertahan dan mengendap di ulu hati. Kalbunya kini tertutup penuh kebencian.
Harinya di sekolah sangat kelam. Sekelam cacian teman-teman terhadapnya. Anggapan
remeh guru-guru dan segala yang membuat sakit hatinya. Sejatinya ia ingin
melawan, hatinya acap kali mengisyaratkannya untuk memberotak tetapi fisik dan
jiwanya tidak cukup terlatih berlaku demikian.
Satu, dua, tiga,
berkali-kali ia mencoba mementahkan cacian terhadapnya. Bukan berhenti,
temannya malah semakin menjadi-jadi. Ia ditertawakan. Mencoba lagi.
Ditertawakan lagi. Begitulah kira-kira alur kehidupannya di sekolah. Miris
memang.
Jika ditengok
kebelakang koko sebenarnya terlahir lengkap seperti anak pada umumnya. Tidak
nampak tanda-tanda aneh daripadanya. Saat usianya belum genap 1 tahun,
gerakannya, tingkahnya sangat menggemaskan. Satu dua kata dengan terbata
berhasil diucapnya. Namun, kesibukkan kedua orang tua memaksanya untuk
mengenyam pendidikan usia dini seadanya. Tidak ada yang mengajaknya berbicara,
kecuali pembantu di rumahnya. Tidak ada yang menopangnya untuk berlatih
melangkahkan kaki. Tidak ada nyanyian nyanyian kasih sayang untuknya sebelum
tidur. Semua tidak pernah didapatkannya sewaktu kecil. Dan kini ia haus akan
itu.
Perlakuan ala kadarnya
dari orang tua ternyata berdampak sangat dahsyat bagi perkembangan mentalnya sekarang.
Ia tak hanya kesulitan dalam bergaul, tetapi pola pikirnya dianggap ‘berbeda’
yang cenderung aneh dibanding sebayanya. Potensi yang dibawanya dari lahir tak
ada artinya hanya karena kegagalan pendidikan di masa kecil yang sangat
krusial. Ia tak medapat perlakuan yang seharusnya. Potensinya tak terbungkus
secara sempurna. Alhasil, potensinya menguap dan hanya menghambur antah
berantah.
Jika dilihat sekilas,
koko tak seperti anak dengan kemampuan di atas rata-rata. Namun seperti anak
dengan dengan mental yang agak terbelakang. Fokusnya tak dapat terpusat.
Pandangan matanya kosong tetapi sebenarnya hidup. Pikiranya lamban dan sempit
tetapi sebenarnya ia berfikir detail, bahkan lebih dari yang lain. Gerakannya tak
terkendali awut-awutan, benar saja. Kemampuan verbal nya dibawah rata-rata,
sekali lagi ini merupakan imbas dari pendidikan masa kecilnya serta tempat yang
tak seharusnya di masa kini. Lalu apa yang salah darinya?
Tidak, dalam hal ini
koko hanya pemeran. Ia merupakan visualisasi akibat yang sejatinya tak
dikehendaki oleh siapapun. Maka, menerima dan menghargainya sesuai porsi adalah
hal yang sangat dibutuhkannya. Koko adalah manusia biasa. Ia butuh pengakuan,
ia butuh diakui bahwa ia ada dan sejajar dengan yang lain. Ia tak butuh dipuji,
tetapi ia sarat apresiasi. Apresiasi sedikit saja bisa menjadikanya terpacu
luar biasa untuk mendapat hasil yang lebih istimewa. Tak percaya? Buktikan
saja.
Cara berpikir koko
berbeda dengan yang lain. Maka guru dan fasilitas yang tepat yang dibutuhkan
untuk menunjang potensinya yang sebenarnya sangat mudah diasah. Koko tak pandai
berbicara, berikan saja soal eksak dan biarkan ia bermain dengan nalarnya. Koko
tak suka keramaian, jangan kurung dia, berikan kebebasan untuk menentukan
pergaulannya sendiri. Gerakannya mengganggu penglihatan, jangan dilihat. Mudah
kan? koko memang anak gifted unlimited, menerima dan menganggapnya bukan
masalah adalah tindakan bijak. Jika kita bisa melakukannya, tak berlebihan jika
kita disebut sebagai GREAT MAN UNLIMITED. Wouldn’t you?