event #streetbible yang diselenggarakan oleh @FisipersUI
Jalanan tetap jalanan
Jalanan.
Mungkin sebagian orang beranggapan bahwa jalanan adalah sebuah tempat yang
keras dan mengerikan. Ada pula yang menganggap jalanan hanya sebuah tempat yang
disediakan bagi mobil dan kendaraan lain untuk berlalu lalang, tanpa kesan.
Lain lagi yang menjadikan jalanan sebagai ladang rejeki, zona bekerja keras. Ia
pasti tak akan rela melewatkan setiap sudut jalanan tanpa kesempatan. Tak akan
rela. Namun, ini bukanlah teori paten. Hanya pendapat sebagian orang. Hanya
opini. Setiap orang berhak mendefinisikannya masing-masing. Ya apapun itu.
Menyusuri
jalan di kota besar seperti di Kota Semarang, bagaikan menyusun mozaik
kehidupan yang telah menjadi serpihan dan berpencar antah berantah. Berjauhan
tetapi tetap berkesinambungan. Segala macam studi kehidupan dapat kita temukan.
Hanya perlu sedikit membuka rasa empati, kita akan menemukan kedamaian tak
terbayar disana. Karena percayalah, jalanan merupakan cermin kejujuran.
Walaupun kini sudah ternoda oleh orang-orang yang berbangga telah mampu
berdusta baginya.
Hiruk pikuk dan sesak jalanan
mengisyaratkan bahwa kita tidak sendiri. Tuhan tak hanya menciptakan seorang
makhluk di dunia ini, tetapi berjuta hingga bermilyaran. Jika kita merasa
kesepian, Sesungguhnya kita telah mengingkari nikmat yang telah Tuhan berikan.
Sehingga kita harus bersyukur dengan adanya jalan. Jalan merupakan salah satu
media kita untuk berjumpa. Untuk saling bertegur sapa. Terkadang jalanan
dipenuhi oleh orang-orang yang saling bertukar senyum nan menyejukkan, tetapi
tak jarang juga berhiaskan pandangan manusia yang saling mengacuhkan.
Hidup di jalanan berarti menyerahkan
diri pada kekerasan. Kekerasan preman, salah satunya. Karena kembali lagi pada
hakikatnya, jalan merupakan tempat yang keras dan hanya diperuntukkan bagi
orang-orang yang tangkas. Jika tak cepat bertindak, niscaya kau akan mati
kelaparan atau bahkan mati tertimpa kerasnya jalan itu sendiri.
Awalnya aku menelan arti keras
secara mentah. Pusat dari kejahatan dan kerusakan di muka dunia. Perampokan,
penjambretan, pemerkosaan adalah beberapa dari sekian juta kejahatan yang
nyata. Kecelakaan ringan hingga mengerikan, dari yang berstatus tanpa korban
hingga beribu jiwa melayang dapat kita temui disini. Tak heran jalan kerap
dicap sebagai tempat yang penuh misteri. Magis, tetapi sering juga tak logis.
Dari uraian paragraf diatas, mungkin
kita akan takut dan enggan untuk mengenal jalanan lebih detail lagi. Namun, kita
akan mengupas jalanan dari sisi yang lain. Sudut pandang dan juga penafsiran
yang berbeda. Kita akan merenung dan berucap syukur. Semoga kita termasuk
orang-orang yang terpilih.
Banyak profesi yang menggantungkan hidup di jalanan.
Supir angkot, tukang sapu jalan, tukang becak, loper koran, pedagang asongan,
pengamen adalah beberapa diantaranya. Mereka tak meminta dikasihani. Mereka
hanya membutuhkan sedikit penghargaan. Penghargaan sebagai sesama manusia. Sekarang
tinggal bagaimana kita bersikap. Sikap kita terhadap orang-orang yang mungkin
jauh tak seberuntung kita. Masihkah kita peduli. Masihkah tersisa sedikit
kemanusiaan di sanubari ini. Masihkah kita menganggap mereka ada. Tanyakan
kepada hati kita masing-masing. Rasakan setiap bisikan. Diam, dan kalian akan
menemukan jawaban.
Begitulah sedikit potret jalanan di Kota Semarang. Ya
seluruh pemaparan diatas, tanpa satupun pengecualian. Mungkin kota lain juga
merasakan hal serupa. Itu merupakan hal lumrah. Semua kota ataupun desa berhak
memiliki deskripsi jalanan seperti ini. Karena jalanan bersifat universal.
Dari, oleh dan untuk siapa saja.
Jalanan tetaplah jalanan. dicap sebagai apapun, jalanan
tetaplah sebuah jalan. Jalan yang seyogyanya diinjak dan terus saja menjadi
alas bagi seluruh umat manusia. Kita tidak berhak mengagungkan apalagi merendahkannya.
Biarkan, biarkan jalan tetap pada fungsi yang sebenarnya. Karena bagaimana pun
jalan bukanlah sebuah gambar yang bisa sekenanya disalin disembarang kertas.
Jalan tetaplah jalan.
Coba kita melihat jalanan dari atas, dari jendela
helikopter yang terbang pada ketinggian 5000 meter misalnya. Bisakah kita
melihat kemacetan jalanan yang seringkali menyesakkan dada? Apakah kita
menangkap suatu praktek kejahatan di jalanan itu? Tidak, tak akan pernah.
Jalanan hanya terlihat seperti garis gradien yang membentang tiada ujung. Diapit
oleh gedung-gedung pencakar langit yang kian menambah sesak potret jalanan dari
ketinggian. Mobil-mobil berbagai merk pun hanya memancarkan cahaya yang tak
lebih sangar dari cahaya senter. Berjubel, mungkin tampak. Tetapi tak ada yang
perlu dikhawatirkan dari sesuatu yang kita sebut sebagai “jalanan”. Kita hanya
perlu meyakini bahwa jalanan itu ada dan diciptakan bagi siapa saja. Hanya
boleh ada kedamaian dan keselarasan. Tak boleh ada permusuhan apalagi
kekerasan. Kita yakin bahwa jalanan adalah ladang pangan bukan pertumpahan
darah. Dan ...
“ Hargai jalanmu, hargai setiap makhluk yang
terlibat didalamnya . karena sesungguhnya, mereka berhak “
(by : Khurnia tri utami)