Pagi ini masih segan rasanya untukku menyambut
senyum hangat sang surya. Entah kenapa raga ini seakan tak mau berkompromi
dengan hiruk pikuknya kota semarang, yang seyogyanya tak pernah luput
kujamah. Namun, aku tak ingin berlama-lama. Ku musnahkan segala keraguan yang
membelenggu itu. ku kobarkan lekas-lekas semangat baruku, semangat putih
abu-abuku, semangat yang telah kuperjuangkan mati-matian setahun ini. Rasanya
tak sabar menginjakkan kaki di SMA bercorak jersey Timnas Belanda yang baru
saja menganggapku sebagai keluarga barunya itu.
Hari ini spesial, itu bagiku. Bagi keluargaku,
biasa saja. Buktinya aku yang malang
melintang menyambut atribut baru ini tak sedikitpun mendapat sambutan istimewa.
Aku tetap saja dibiarkan berangkat seorang diri ke sekolah yang sesungguhnya
belum akrab denganku. Aku pun terima saja walau sebenarnya ingin diantar tepat
didepan gerbang seperti teman-teman yang lain. Tetapi, ya sudahlah.
Aku bergegas meninggalkan rumah, perjuangan pun
dimulai. Kali ini rintangan yang harus ku tempuh adalah berjalan yang jauhnya
sekitar 1,5 km. Cukup melelahkan memang, tetapi dengan tersenyum semuanya
terasa mudah dan indah. Aku pun begitu menikmatinya.
“akhirnya” kataku sembari menghela napas panjang.
Akhirnya aku dapat segera mengistirahatkan kaki ini. Rintihanya menusuk hingga
ketulang-tulang, aku pun miris merasakanya.
Telah ku tempatkan raga ini ke dalam angkot yang
nantinya akan mengantarku ke depan gerbang sekolah. Kini aku hanya tinggal
menunggu pak sopir mengemuKakan angkotnya. Tak berapa lama angkot pun melaju.
Segera ku penakkan pandangan menuju ke jendela dengan pemandangan terindah,
hanya sekedar untuk menyeka penat.
Tiba-tiba ...Ahhh mengapa aku begitu memaksa untuk tahu siapa dia. Kenapa otak ini tak mau berfikir lebih lembut, kenapa jiwaku seolah terbelenggu oleh kehadiran sosok tanpa nama itu. Ohhh Tuhan...
Ya, rambut kriwilnya itu mengingatkanku pada
seseorang. Tapi siapa? Entahlah. Aku berlalu. Kucoba mencari pemandangan lain
dari sisi jendela yang berbeda. Bagai terhipnotis, bola mataku kembali lagi
serasa tak ingin berpaling. Semakin berpaling, ingatanku bekerja semakin hebat.
Ku coba mengingatnya lagi. sosok familier tadi memang telah tak tampak tetapi
bayangan tadi belum juga mau berlari dari otak ini.
Tiba-tiba
bagai terantuk tebing terjal, jiwa ini terguncang hebat. Aku terpaku. bagai
terperintah, kedua bola mata ini serempak kelu. Air mata pun sekenanya mengalir
saja, aku tak kuasa membendungnya. Bibir ini mengucap satu kata, walau tak
begitu jelas ucapanya.
“Kaka...” cetusku tanpa sadar. benar sekali, ya aku
mengenalnya. Dialah ... ahh malas sekali menyebut namanya. Nampaknya tak banyak
yang berubah dari dirinya, tetap seperti yang dulu.
Mengingat
namanya, serta merta masa-masa indah lalu turut menyesaki otakku. Saat saat
dimana kita merasa ruang kelas milik berdua. Bercanda, saling mengejek tanpa
memperdulikan teman yang lain. Jujur, aku rindu candaanmu yang dulu, yang
menjaKakan aku sulit melupakan bayangmu. Aku ingin berdiskusi matematika dengan
sosokmu yang sok cool itu. Aku kangen ketika kita ditegur guru karena sibuk
sendiri ketika beliau menerangkan. Tuhan... aku rindu semua itu.Apa kabar Kaka? , itulah kata yang ingin kuucapkan sesegera mungkin. Namun, aku tak memiliki cukup nyali untuk sekedar mengeja kalimat itu. Entah, aku sendiri saja tak mampu menjabarkannya. Sebenarnya ada satu penyesalan yang sampai saat ini belum bisa lepas dari benakku. Mungkin ini juga yang salah satu penyebab canggungnya hubungan kita sekarang. Seandainya waktu bisa kembali, aku tak akan menyiakan saat itu. Ingin rasanya ku ulur waktu semampuku serta tak akan kubiarkan lepas sekenanya saja. Ku tiadakan ujian, ya pemikiran konyol itu muncul lagi. Aku tak terlalu menahu akan dampak ujian itu yang pasti ujian merupakan akhir perjuangan anak kelas IX dibangku SMP, mungkin karenanya aku dan Kakaterpisah. Sebenarnya bukan karena itu melainkan ada hal lain dibalik ujian nasional nan penuh misteri itu yang sampai saat ini pun tak mampu kujelaskan. Padahal raung galaunya begitu gempar terasa sampai sekarang.
Hari ini adalah jadwal cap tiga jari ijazah di SMP ku tercinta. Dengan demikian hari ini juga aku bisa menuai rindu bersama teman-teman SMP tersayang. Aku gak sabar ingin segera bertemu mereka apalagi seragam kita nanti kan udah gak sama lagi udah pakai rok abu-abu lagi, ahhh lucunya. Namun, tiba-tiba aku terantuk pada suatu kejanggalan. Kaka, ya benar Kaka. Tak peduli rinduku menggunung yang pasti aku tetap tak ingin bertemu dia. Aku benar-benar mati gaya dihadapannya. Aku tak kuasa mengatur diri ini ketika melihat senyumnya. Aku terlanjur malu. Sungguh habis sudah muka ini untuk memandangnya nanti.
Aku berangkat menuju SMP bersama teman-teman yang kini masih satu sekolah denganku, lumayan banyak memang. Di sepanjang jalan aku mencoba menenangkan diri selekas mungkin. Aku tak ingin benar-benar terlihat memalukan didepan Kakananti. Aku berjuang, tertatih sendirian tak ada pula yang menawarkan bantuan. Ya allah semoga aku tak bertemu dengannya, amin. itulah sebait doa yang terpanjat spontan dalam hati.
Setelah sekitar 30 menit berada dalam angkot, sampailah kami di SMP. Begitu sampai tanpa berpikir lebih lama aku langsung menuju tempat yang paling dan teramat ku rindukan. Kelas IX ku, ya kelas IX G tepatnya. Aku rindu tempat itu, tempat dimana saat-saat terindahku mengenakan seragam putih biru yang kini digantung dengan wewangian abadi. Kelas yang tak pernah sepi oleh candaan para penghuninya, sertatempat yang paling bersejarah bagi perjalanan cintaku. Siapa lagi kalau bukan dengan Kaka, huhhh Lagi-lagi nama itu.
Aku yang sedang asyik memandangi ruang kelas menjelma menjadi acuh tak acuh pada keadaan sekitar. Aku merasa dunia ini milik diriku seorang. Senyum, tertawa kecil kulakukan tanpa kawan bak penghuni anyar Rumah Sakit Jiwa.
“subhanallah” bacaan tasbih yang dilontarkan dengan nada mengejek itu menyadarkan lamunanku. Ku toleh kearah sumber suara. Tampak seketika sosok dengan senyum manisnya didepan mataku. Tubuhku gemetar, tetapi tetap kucoba menguasai diri.
“Kaka” jawabku datar.
Dia tersenyum simpul, manis sekali.
Kita saling hemat bicara. Diam tanpa seribu kata. Benar dugaanku aku sungguh dibuat mati gaya dihadapannya.
Aku melirik tajam kearah lengan kanan atas bajunya hanya sekedar untuk melihat bet sekolah barunya. Mengetahui maksudku, Kakabertindak. Dengan cekatan ia langsung menutup lengan yang kupandangi tadi dengan tangan kirinya. Lucu, hampir saja aku dibuat tertawa lepas dengan sikap jenakanya itu, untung saja aku sukses mengontrol diri. Usahanya itupun sia-sia aku berhasil mengintip bet sekolahnya. Secara otomatis, aku tahu sekolah abu-abunya itu ya aku tahu.
Usahaku berlanjut, kini lengan kirinya menjadi incaranku. Jangan sampai bet jurusan yang tertempel disana membuat rambutku beruban hanya karena dibuat penasaran olehnya.
“ssstttt” desahnya seraya menutupi lengan kirinya dengan telapak tangan kanannya. Lagi-lagi ia telat, aku sukses menintipnya. Yeahhh yuhuuu...
“oooo” responku standar setelah mengetahui sekolah serta jurusan teman istimewaku itu. Walaupun sebenarnya hatiku begitu girang.
Seakan tak mau kalah, ia melakukan hal yang sama. Ia mencoba mengintip ketiga bet yang tertata di lengan kananku. Tak ingin berbuat sama dengannya, aku melakukan hal lain. Kudekatkan lenganku itu kearah pandangannya. Mukanya tetap tanpa ekspresi begitu juga aku, kita sama-sama terlihat begitu polos.
“heeemmm” responnya tak kalah standar. Aku tertawa kecil, tersirat keinginan untuk tak beranjak dari depan kelas kesayangan ini yang tentu saja bersama dengannya.
Beberapa menit saling mengunci mulut. Kakamulai membuka suara “eh aku turun dulu ya” ijinnya.
Aku hanya mengangguk. Ingin sebenarnya menahan, tetapi apa hakku. Aku?! Ahh aku tak lebih dari teman, teman masa lalunya
.
>.>> kaka itu nama samaran guys, mau tahu yang sebenarnya ? baca post selanjutnyaaa...